Minggu, 27 Januari 2008

@ ARTIKEL & HASIL-HASIL KAJIAN

“KEKUASAAN” atau SEJAHTERAKAN RAKYAT?
Selasa, 15 Januari 2008 06:48:01

Oleh : Burhanuddin Saputu *


Tanggal 28 Okteber 2007 lalu sekelompok pemuda membacakan deklarasi yang intinya: Saatnya pemuda memimpin negeri ini, tidak lama kemudian muncul berbagai tanggapan: Amin Rais berpandangan, tidak perlu mendikotomikan antara yang tua dan yang muda; Salahudin Wahid dalam artikelnya menuliskan yang muda atau yang bisa; Sri Sultan Hamengku Buwono X menantang kaum muda membuat deklarasi nyata arah perjalanan Indonesia, jika tidak mampu sebaiknya kaum muda menunda keinginan mengalihkan kekuasaan dari kaum tua; Baharuddin Aritonang mengatakan, calon presiden mendatang diharapkan figur yang revolusioner; Anis Baswedan berpandangan, calon pemimpin ke depan adalah yang memiliki visi yang jelas, tegas, dan tidak mudah mengubah arah kemudi. Demikianlah pandangan/pendapat beberapa tokoh yang beredar di media.
Padangan/pendapat di atas ada benarnya, Negara Indonesia lahir karena inisiatif kaum muda yang kemudian berhasil memadukan dua kemarahan, yaitu kemarahan rakyat terhadap kolonial dan kemarahan rakyat terhadap “kaum feodal kerajaan”. Apakah ini yang dimaksud dengan statement saatnya pemuda memimpin negeri ini? tentu tidak, olehkarena negara tidak sedang dalam kondisi revolusi. Realitas politik dan demokratisasi di Indonesia, kaum muda hanya bisa tampil menjadi pemimpin negeri ini jika instrument demokrasi seperti partai politik menghendakinya. Ataukah pemuda tidak percaya lagi pada orang tua-tua? juga tidak terlihat olehkarena saat ini sebahagian besar pemuda sudah teralienasi kekuasaan, masuknya kaum muda penggerak reformasi dalam pergumulan kekuasaan yang kemudian menanggalkan agenda utama reformasi yang pernah diusung, lalu bergabung dengan orang tua-tua yang ada di sana adalah merupakan jawabannya. Sangat jarang memang menemukan kelompok pemuda yang bergerak sungguh untuk kepentingan rakyat semata seperti yang dicontohkan para pemuda pejuang kemerdekaan Indonesia. Suasana seperti itu terbangun olehkarena ending reformasi terhenti pada mengganti pucuk kekuasaan (melengserkan Presiden Soeharto) setelah itu agenda reformasi diteruskan elit yang sebelumnya juga berada di sekitar dan/atau berada dalam rezim orde baru; tidak kompaknya para pendukung reformasi serta perbenturan ideologi antar sel-sel penggerak reformasi ditambah lagi kegagalan mereka mendamaikan elit reformasi yang bertekar saat berkuasa adalah merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya disorientasi pemuda terhadap misi awalnya—butuh dua/tiga generasi lagi menanti kepemimpinan dari kaum muda.
Jelang pemilihan presiden tahun 2009, jauh-jauh hari Sutiyoso setelah pensiun sebagai Gubernur DKI Jakarta mendeklarasikan diri untuk maju sebagai calon presiden; Munas PDIP yang juga dihadiri perwakilan anak cabangnya, akhirnya Megawati Soekarnoputri bersedia menjadi calon presiden; Dalam acara dialog today di metro tv, Amien Rais menunggu sinyal dari langit untuk maju, sementara Wiranto masih berkaca dan lebih fokus pada Partai Hanura karena partainya baru muncul. Di tempat terpisah, Abdurahman Wahid (Gus Dur) menyatakan kesediaanya menjadi calon presiden, diikuti beragam komentar dukungan dari fungsionaris PKB (Muhaimin Iskandar, Yeni, dan Ali Masykur Musa) walaupun “persyaratan” seseorang untuk menjadi calon presiden, besar kemungkinan akan menjadi ganjalan Abdurahman Wahid; Sri Sultan Hamengku Buwono X sesekali mencoba muncul meskipun belum terus-terang, lalu muncul lagi mengklarifikasi bahwa pertemuannya dengan beberapa tokoh/fungsionaris parpol tidak terkait soal capres-capresan; Akbar Tanjung secara perlahan bergerak bersama Barisan Indonesia-nya (Barindo); Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla belum memberikan keterangan terkait soal percalonan itu, hal ini dapat dimaklumi agar pemerintah tetap kompak dimata publik sehingga tugas-tugas pemerintahan berjalan normal dan sehat.
Sudah barang tentu diantara tokoh tersebut di atas bersiap-siap/menghitung-hitung dukungan untuk maju. Megawati Soekarnoputri jelas percaya diri untuk bertarung olehkarena pemilih partainya sangat signifikan sebagai pemenang kedua dalam pemilu legislatif 2004, ditambah dengan pengalaman atas pilpres lalu serta konsolidasi partainya yang cukup intens pasca kekalahan saat pilpres 2004. Rasa percaya diri itu semakin bertambah setelah PDIP baik secara tunggal maupun berkoalisi dengan parpol lain berhasil memenangkan beberapa pilkada. Sedang Abdurrahman Wahid jika maju tentu akan melalui pintu PKB-nya yang perolehan suara dalam pemilu legislatif lalu merupakan pemenang ketiga setelah Partai Golkar dan PDIP. Konstituen NU dan partai gurem akan menjadi penopang baginya ditambah dengan kerja-kerja kultural dalam pengertian luas yang selama ini dilakukan Abdurrahman Wahid.
Sementara itu, SBY agak gelisah atas rapuhnya konsolidasi partai di tingkatan basis padahal Partai Demokrat adalah pendukung utamanya. Ditengah keterpurukan popularitas partainya, bencana politik datang lagi dimana Pemuda Partai Demokrat membubarkan diri dengan alasan kaderisasi tidak berjalan dan mungkin mereka sudah berpaling ke figur/parpol lain. Kekecewaan tidak terpenuhinya harapan rakyat setelah memilih SBY sebagai presidennya, serta kecenderungan akan hengkangnya beberapa partai pengusung saat pilpres 2004 menjadi batu sandungan besar baginya dalam pertarungan nanti. Karena itu, SBY kemungkinan akan membujuk JK untuk berpasangan ulang meskipun hal ini bumerang bagi para pemilih. Namun jika JK maju juga melalui pintu Golkarnya maka kecenderungan SBY akan mengajak Akbar Tanjung yang baru mulai melakukan konsolidasi lewat kaukus Barisan Indonesia (Barindo) walaupun kaukus ini belum dapat terlihat seberapa dayanya bisa menarik pemilih. Nampaknya ini hanya alat bargen atau semacam mesin tempel yang suatu waktu bisa dicopot sebagaimana halnya Barisan Nasional (Barnas).
Penjaringan capres dari Partai Golkar melalui konvensi, kini ditiadakan. Alasannya cara tersebut dianggap tidak efektif bagi golkar untuk bertahan di puncak kekuasaan, hal ini terbukti saat Wiranto capres dari Partai Golkar kalah/dikalahkan bertarung di pilpres 2004. Terkait pengalaman itu, Partai Golkar di bawah kepemimpinan Yusuf Kalla merubah haluan dengan meniadakan konvensi Partai Golkar disertai alasan bahwa demokrasi hanyalah alat. Argumen Kalla mendapat tanggapan miring dari berbagai kalangan khususnya kekhawatiran Eep Saifullah Fatah sembari mengandaikan rezim otoriter jika demokrasi hanyalah alat. Padahal apa yang dilontarkan Ketua Umum Partai Golkar itu adalah benar adanya, bahwa tujuan demokrasi adalah untuk rakyat—capaian puncak kekuasaan melalui proses demokrasi hanyalah nakhoda untuk terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dalam pengertian di sini demokrasi tidak akan berarti jika kebanyakan rakyat dari sebuah negara terhimpit kemiskinan atau bahkan lebih ekstrim ada rakyat yang kelaparan. Jika ada kejadian seperti itu, bukan berarti kesalahan demokrasi tetapi salahnya orang-orang yang memilih dan yang dipilih meskipun melalui proses demokrasi.
Perkembangan demokrasi di negeri ini hampir mengarah pada sasaran utamanya walaupun di sana-sini masih terdapat kelemahan, demikian juga terhadap pergerakan demokrasi dilingkup politik lokal. Menuju pilpres 2009 sudah saatnyalah parpol-parpol menyodorkan figur capresnya tidak hanya pertimbangan subyektifitas, demikian juga terhadap kekuatan sosial-politik lainnya tidak lagi mempersoalkan militer-sipil/tua-muda, atau seperti pernyataan F Rahman ketika acara dialog di metro tv yang tampak ademokratis: Melarang orang tua-tua untuk tidak lagi ikut-ikutan menjadi capres. Padahal yang lebih penting dan mendesak saat ini bukannya tua atau muda, tetapi sesungguhnya adalah figur yang bisa kerja untuk kesejahteraan rakyat serta punya langkah kongkrit mengatasi kemiskinan yang melilit “rakyat” Indonesia. Perlu direnungkan bahwa kekuasaan hanyalah sebuah ruang kerja, karena itu suksesi kepemimpinan tidak semata-mata diorientasikan pada kekuasaan dan bagaimana cara mendapatkan kekuasaan itu, namun yang paling urgen adalah mengarahkan perhatian pada figur yang bisa membhaktikan kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan—tidak untuk hal lain.

Penulis,

Burhanuddin Saputu
Pengamat Politik&Parpol

ASYURA' DALAM PERSPEKTIF ISLAM, SYI'AH
DAN KEJAWEN

A. Asyuro' dalam ajaran Islam

Ulama Ahlussunnah sepakat bahwa pada hari 10 Muharram disyari'atkan untuk berpuasa. Ibnu Abbas mencerita-kan : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura' ( tanggal 10 Muharram), maka beliau bertanya: "Hari apakah ini?" Mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari itu karena syukur kepada Allah. Dan kami berpuasa pada hari itu untuk mengagungkannya." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian", maka Nabi berpuasa Asyura' dan memerintah-kan puasanya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Harus Menyalahi Ahli Kitab Para sahabat berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sesung-guhnya Asyura' itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tahun depan insya Allah kita akan puasa (juga) pada hari yang kesembilan." (HR. Muslim (1134) dari Ibnu Abbas). Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari jalur lain, sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Berpuasalah pada hari Asyura' dan selisihilah orang-orang Yahudi itu, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (Fathul Bari, 4/245). Imam Syafi'i juga meriwayatkan hadits di atas, makanya beliau di dalam kitab Al-Um dan Al-Imla' menyatakan kesun-nahan puasa tiga kali tanggal 8, 9 dan 10 Muharram. (Al-Ibda', Ali Mahfudz hal. 149, Fathul Bari 4/246).

Keutamaan Asyura' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyura', maka beliau menjawab: "Ia menghapuskan dosa tahun yang lalu." (HR. Muslim (1162), Ahmad 5/296, 297). Karena itu, pantas jika Ibnu Abbas menyatakan : "Saya tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (Asyura') dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: Ramadhan)." (HR. Al-Bukhari (2006), Muslim (1132)). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah yang bernama Muharram. (HR. Muslim,1163).

B. Bid'ah-bid'ah Asyura'

10 Muharram 61 H adalah hari terbu-nuhnya Abu Abdillah Al-Husen bin Ali (ra) di padang Karbala. Karena peristiwa berdarah ini, setan berhasil menciptakan dua kebid'ahan sekaligus. Pertama : Bid'ah Syi'ah Asyura' dijadikan oleh Syi'ah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap Asyura', mereka memperingati kematian Al-Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Al-Husen secara histeris, membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukuli badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan lain sebagainya. (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah, Ahmad Al-Kisrawiy Asy-Syi'iy, hal. 141, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari).

Kedua : Bid'ah Jahalatu Ahlissunnah Sebagai tandingan dari apa yang dilakukan oleh orang Syi'ah di atas, orang Ahlussunnah yang jahil (Bodoh) menjadikan hari Asyura' sebagai hari raya, pesta dan serba ria. Menurut Ahmad Al-Kisrawi Asy-Syi'iy: "Dua budaya (bid'ah) yang sangat kontras ini, menurut literatur yang ada bermula pada jaman dinasti Buwaihi (321H - 447 H.) yang mana masa itu terkenal dengan tajamnya pertentangan antara Ahlus-sunnah dan Syi'ah. Orang orang jahalatu (bodoh) Ahlussunnah menjadikan Asyura' sebagai hari raya dan hari bahagia sementara orang-orang Syi'ah menjadikannya sebagai hari duka cita, mereka berkumpul membacakan syair-syair haru kemudian menangis dan menjerit." (At-Tasyayyu' Wasy-Syi'ah hal.142)

Sementara Syekh Ali Mahfudz mengatakan bahwa di Kufah ada kelompok Syi'ah yang sampai ghuluw (berlebihan) dalam mencintai Al-Husen (ra) yang dipelopori oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi (tahun 67 H dibunuh oleh Mush'ab bin Az-Zubair) dan ada kelompok Nashibah (yang anti Ali beserta keturunannya), yang diantaranya adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dantelah disebut di dalam hadits shahih."Sesungguhnya (akan muncul) di Tsaqif (kepala suku dari Hawazin) seorang pendusta dan pembantai." Pendusta tadi adalah Al-Mukhtar yang memperselisihkan keimamahan Ibnul Hanafiyah, dan pembantai tadi adalah Al-Hajjaj yang membenci Alawiyyin, maka yang Syi'ah tadi menciptakan bid'ah duka cita sementara yang Nashibah menciptakan bid'ah bersuka ria. (Al-Ibda' hal. 150)

Bid'ah-bid'ah tersebut berbentuk :

1. Menambah belanja dapur.
Banyak riwayat yang mengatakan :"Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan melapangkan (rizkinya) selama setahun itu." (HR. At-Thabraniy, Al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr). Asy-Syabaniy berkata: semua jalurnya lemah, Al-Iraqi berkata : sebagian jalur dari Abu Hurairah dishahihkan oleh Al-Hafidz Ibnu Nashir, jadi menurutnya ini hadits hasan, sedangkan Ibnul Jauzi menulisnya di dalam kumpulan hadits palsu. (Tamyizuth-Thayyib minal Khabits, no. 1472, Tanbihul Ghafilin, 1/367). Sementa-ra itu imam As-Suyuthi dengan tegas mengatakan : "Telah diriwayatkan tentang keutamaan meluaskan nafkah sebuah hadits dhaif, bisa jadi sebabnya adalah ghuluw di dalam mengagungkan-nya, dari sebagian segi untuk menandingi orang-orang Rafidhah (Syi'ah) karena syetan sangat berambisi untuk memalingkan manusia dari jalan lurus. Ia tidak peduli ke arah mana -dari dua arah- mereka akan berpaling, maka hendaklah para pelaku bid'ah menghin-dari bid'ah-bid'ah sama sekali." (Al-Amru Bil Ittiba', hal.88-89)
Imam Ahmad mengatakan ketika ditanya : "Hadits ini tidak ada asalnya, ia tidak bersanad kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dari Ibnul Muntasyir, sementara ia adalah orang Kufah, ia meriwayatkan dari seorang yang tidak dikenal." (Al-Ibda', Ali Mahfudz, 150)

2. Memakai celak (sifat mata).

3. Mandi.
Mereka meriwayatkan sebuah hadits: "Barangsiapa yang memakai celak pada hari Asyura', maka ia tidak akan mengalami sakit mata pada tahun itu. Dan barangsiapa mandi pada hari Asyura', ia tidak akan sakit selama tahun itu." (Hadits ini palsu menurut As-Sakhawi, Mulla Ali Qari dan Al-Hakim) (Al-Ibda', hal. 150-151)

4. Mewarnai kuku.

5. Bersalam-salaman. Imam As-Suyuthi mengatakan : " Semua perkara ini (no.2-5) adalah bid'ah munkarah, dasarnya adalah hadits palsu atas nama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ." (Al-Amru bil Ittiba' , hal.88)

6. Mengusap-usap kepala anak yatim.

7. Memberi makan seorang mukmin di malam Asyura'. Mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu dengan sanad dari Ibnu Abbas yang mirip dengan haditsnya orang Syi'ah yang berbunyi:
"Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura' dari bulan Muharram, maka Allah memberinya (pahala) sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi buka seorang mukmin pada malam Asyura', maka seakan-akan seluruh umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berbuka di rumahnya sampai kenyang." (Hadits palsu dinyatakan oleh imam As-Suyuthi dan Asy-Syaukani, no. 34, lihat Tanbihul Ghafilin, 1/366).

8. Membaca do'a Asyura' seperti yang tercantum dalam kumpulan do'a dan Majmu' Syarif yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah. Begitu pula keyakinan mereka bahwa siapa yang membaca do'a Asyura' tidak akan meninggal pada tahun tersebut adalah bid'ah yang jahat. (As-Sunan wal Mubtada'at, Muhammad Asy-Syuqairi, hal.134).

9. Membaca "Hasbiyallah wani'mal wakil" pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit adalah bid'ah.

10. Shalat Asyura'. Haditsnya adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh As-Suyuthi di dalam Al-La'ali Al-Mashnu'ah (As-Sunan wal Mubtada'at, 134).

C. Asyuro dalam Tradisi dan Kultur Kejawen

Bulan Suro banyak diwarnai oleh orang Jawa dengan berbagai mitos dan khurafat, antara lain : Keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat yang tidak boleh dibuat main-main dan bersenang-senang seperti hajatan pernikahan dan lain-lain yang ada hanya ritual. Ternyata kalau kita renungkan dengan cermat apa yang dilakukan oleh orang Jawa di dalam bulan Suro adalah merupakan akulturasi Syi'ah dan animisme, dinamisme dan Arab jahiliyah. Dulu,orang Quraisy jahiliyah pada setiap Asyura' selalu mengganti Kiswah Ka'bah (kain pembungkus Ka'bah) (Fathul Bari, 4/246). Kini, orang Jawa mengganti kelambu makam Sunan Kudus. Alangkah miripnya hari ini dan kemarin. Di dalam Islam, Asyura' tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri (Syi'ah), tidak diisi dengan pesta dan berhias diri (Jahalatu Ahlissunnah) dan tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala' (Kejawen) bahkan tidak diisi dengan berkumpul-kumpul. Namun yang ada hanyalah puasa Asyura' dengan satu hari sebelumnya atau juga dengan sehari sesudahnya. Waallahu-a'lam. ( Abu Hamzah A. Hasan Bashori)

* * *
Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu berkata:Jika kamu berpuasa, hendaknya berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta dan dosa-dosa, tinggalkan menyakiti tetangga, dan hendaknya kamu senantiasa bersikap tenang pada hari kamu berpuasa, jangan pula kamu jadikan hari berbukamu sama dengan hari kamu berpuasa."

Artikel ini di sampaikan pada acara menyambut tahun baru hijriyah 1430 H

Di rumah sahabati RISA randuagung, mahasiswa STKIP Muhammadiyah Jurusan PBSI Smt 3.

PK. PMII STKIP-STIT MUHAMHMADIYAH LUMAJANG

Masa Juang 2007-2008

Tidak ada komentar: